Budaya keselamatan merupakan interelasi dari tiga elemen, yaitu phsycological (person), behavioral (job) dan system (organization). Artinya, ada tiga faktor pembentuk budaya keselamatan, yaitu pekerja, pekerjaan dan organisasi.
Perlu diketahui, budaya keselamatan atau safety culture tidak bisa dibentuk oleh satu individu, tetapi harus melibatkan semua orang yang ada di dalam organisasi atau perusahaan. Budaya keselamatan harus dilaksanakan oleh seluruh sumber daya yang ada, pada seluruh tingkatan dan tidak hanya berlaku untuk pekerja saja.
Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA), budaya keselamatan dibangun atas komitmen bersama, sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja (K3) yang mumpuni, dan persepsi bersama yang menekankan pentingnya K3, sehingga membentuk kebiasaan keselamatan kerja yang berkesinambungan.
Manfaat budaya keselamatan di tempat kerja:
Budaya keselamatan yang baik dapat membentuk perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja yang diwujudkan melalui perilaku aman dalam melakukan pekerjaan. Inilah yang menjadi tantangan besar bagi seorang pemimpin keselamatan dalam membangun budaya keselamatan di tempat kerja, karena mereka harus mengubah kebiasaan banyak orang.
7 Faktor Penentu Keberhasilan Membangun Budaya Keselamatan di Perusahaan
Komitmen manajemen dapat diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang tertulis, jelas, mudah dimengerti dan diketahui oleh seluruh pekerja. Tidak hanya itu, dukungan dan upaya nyata dari pihak manajemen atau pimpinan juga dibutuhkan untuk membuktikan bahwa perusahaan benar-benar berkomitmen terhadap keselamatan kerja.
Upaya nyata tersebut dapat ditunjukkan dengan sikap dan segala tindakan yang berhubungan dengan keselamatan kerja. Contohnya, penerapan peraturan dan prosedur, tersedianya fasilitas keselamatan kerja yang memadai dan sumber daya yang mumpuni.
Manajemen bertanggung jawab untuk menetapkan dan menerapkan peraturan dan prosedur keselamatan kerja. Peraturan dan prosedur keselamatan kerja yang dibuat harus mudah dimengerti, dikomunikasikan dan disosialisasikan kepada pekerja.
Peraturan merupakan suatu hal yang mengikat dan disepakati.
Prosedur merupakan rangkaian dari suatu tata kerja yang berurutan, tahap demi tahap serta jelas menunjukkan jalan atau arus (flow).
Tujuan dibentuknya atau diterapkannya peraturan dan prosedur ini, yaitu untuk mengendalikan bahaya yang ada di tempat kerja, melindungi pekerja dari kemungkinan terjadi kecelakaan dan untuk mengatur perilaku pekerja sehingga nantinya tercipta budaya keselamatan yang baik.
Bentuk dari peraturan dan prosedur K3 di antaranya program komunikasi bahaya, alat pelindung diri (APD), prosedur izin kerja khusus (work permit), prosedur praktek kerja aman, prosedur tanggap darurat, dll.
Komunikasi akan menghasilkan persepsi yang nantinya diinterpretasikan secara berbeda oleh tiap individu. Persepsi sendiri berasal dari berbagai stimulus yang diberikan oleh organisasi ketika berkomunikasi dengan pekerja.
Menjalin komunikasi dua arah antara manajer dengan pekerja, pekerja dengan pekerja, manajer dengan manajer atau departemen dengan departemen menjadi poin penting dalam menciptakan budaya keselamatan yang baik.
Ciptakan komunikasi secara terbuka (transparan) dan jangan ragu meminta pendapat kepada pekerja. Sediakan wadah komunikasi antara pemimpin/ manajemen puncak dengan pekerja. Tersedianya wadah komunikasi ini dapat mendukung seluruh pekerja untuk memberikan masukan tentang peningkatan keselamatan di perusahaan. Jangan pernah mengabaikan berbagai masukan dari pekerja karena akan membuat mereka cenderung bersikap acuh terhadap semua program yang dijalankan perusahaan.
Berhentilah berpikir bahwa membangun budaya keselamatan kerja adalah tanggung jawab departemen K3. Budaya keselamatan akan menjadi lebih efektif apabila komitmen manajemen dilaksanakan secara nyata dan terdapat keterlibatan langsung dari pekerja dalam keselamatan kerja.
Keterlibatan pekerja dalam keselamatan kerja dapat dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya:
Dengan melibatkan, memberdayakan dan mendorong pekerja dalam penerapan K3 ternyata dapat menimbulkan rasa tanggung jawab mereka untuk selalu mengutamakan K3 dalam pekerjaannya. Para pekerja akan merasa dihargai dengan keterlibatan mereka dalam membangun budaya keselamatan di perusahaan.
Budaya keselamatan merupakan kombinasi antara sikap, norma dan persepsi pekerja terhadap keselamatan kerja. Salah satu cara untuk melihat lingkungan sosial pekerja sebagai faktor pembentuk budaya keselamatan, yaitu dengan melihat persepsi pekerja terhadap lingkungan sosialnya.
Ahli K3 mengemukakan, sebisa mungkin perusahaan membentuk suatu lingkungan kerja yang kondusif, salah satunya budaya tidak saling menyalahkan bila terjadi kecelakaan pada pekerja. Budaya keselamatan di perusahaan dapat dikatakan baik jika tidak ada budaya saling menyalahkan di antara pekerja dengan pekerja maupun pekerja dengan manajer ketika terjadi kecelakaan kerja.
Dengan adanya lingkungan sosial pekerja yang baik, dampak positif yang dapat timbul, yaitu terbentuknya kesadaran akan keselamatan di antara pekerja.
Dalam K3, perilaku lebih difokuskan pada perilaku tidak aman (unsafe act). Hal ini dikarenakan penyebab dasar terjadinya kecelakaan kerja salah satunya dikarenakan perilaku tidak aman yang berupa kesalahan atau kelalaian yang dibuat oleh manusia.
Perilaku keselamatan kerja merupakan hasil dari persepsi pekerja terhadap K3. Persepsi pekerja yang menekankan pentingnya K3, mereka tentu akan menggunakan APD dan mematuhi semua prosedur keselamatan bahkan tanpa harus selalu ada yang mengawasi.
Persepsi yang baik terhadap keselamatan kerja dapat dijadikan landasan untuk membentuk perilaku keselamatan yang baik dengan didukung komitmen manajemen yang aktif. Dampak positif terbentuknya perilaku keselamatan yang baik, yakni dapat mengurangi kecelakaan kerja yang disebabkan oleh tindakan tidak aman dan menjadi faktor penting dalam membangun budaya keselamatan di tempat kerja.
Motivasi pekerja dibangun berdasarkan pada contoh suri teladan. Motivasi pekerja biasanya akan muncul setelah ia melihat adanya contoh keteladanan yang baik dari seorang atasan. Keteladanan meliputi keteladanan sikap, moral, kinerja, kecerdasan, dan sebagainya. Jenis keteladanan inilah sangat diutamakan dalam penerapan K3 dan membangun budaya keselamatan dalam suatu organisasi.
Pemimpin keselamatan harus menjadi role model bagi para pekerja. Pemimpin memiliki pengaruh dalam mengubah persepsi pekerja, bagaimana cara mereka berpikir, bersikap dan berperilaku untuk membangun budaya keselamatan.
Faktor keteladanan dalam safety leadership sangat diutamakan dalam membangun budaya keselamatan dalam suatu organisasi. Pimpinan dan manajer dapat memberi contoh nilai-nilai keselamatan yang ditunjukkan dalam perilaku dan tindakan serta etika kerja untuk meningkatkan keselamatan. Pemimpin keselamatan harus menunjukkan kepedulian dan keteladanan yang tinggi melalui keterlibatan langsung dalam program keselamatan yang ditetapkan.
Perlu disadari bahwa unsur utama dalam membangun budaya keselamatan adalah pembentukan sikap dan perilaku selamat yang dibangun dari nilai-nilai keselamatan yang ditanamkan dalam budaya organisasi. Ketujuh elemen di atas dapat Anda terapkan untuk membangun budaya keselamatan yang kuat dan berkelanjutan di perusahaan. Semoga bermanfaat.